Ternyata Hal ini Penyebab Maraknya Aksi Bullying di area Lingkungan PPDS

0
11
Ternyata Hal ini Penyebab Maraknya Aksi Bullying di tempat area Lingkungan PPDS

INFOJAWATIMUR.com – JAKARTA – Ikatan Dokter indonesia (IDI) menyoroti persoalan hukum bullying atau perundungan yang digunakan terjadi di area lingkungan Rencana Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS).

Ketua Junior Doctors Network IDI (Official JDN yang mana diakui World Medical Association), Dr Tommy Dharmawan, SpBTKV, PhD membeberkan faktor terjadinya bullying dalam lingkungan PPDS.

Menurut dia, salah satu penyebabnya adalah kontestan PPDS tidak ada diberikan gaji. Menurutnya, PPDS tidaklah digaji menjadi permasalahan yang dimaksud ada pada Indonesia. Gaji sangat berpengaruh pada persoalan hukum bullying, sehingga beberapa oknum senior minta diberikan makan, minta diantar, hingga minta diberikan pelayanan pada luar akademis.

“Kalau PPDS diberi gaji, minimal dia dapat beli makan sendiri. Atau ketika anak sakit, bayangkan partisipan PPDS rentang usai 27 sampai 35 tahun, dia harusnya udah punya pendapatan pada usia itu kemudian berkeluarga. Bayangkan kalau anaknya sakit, keluarganya sakit, tiada ada upah sejenis sekali. Bagaimana selama ini dia menghidupi diri sendiri,” tutur dr Tommy di Media Massa Briefing mengenai Bullying PPDS sama-sama PB IDI & JDN IDI, Rabu (21/8/2024).

Dokter Tommy menuturkan, pada luar negeri seperti Malaysia, kontestan PPDS digaji senilai Rp15 juta. Sementara itu, ketika pengalamannya training pada Singapura, dr Tommy digaji 2.650 dolar Singapura atau kurang lebih lanjut Rp31,4 juta. Sedangkan dalam Indonesia, partisipan PPDS tidak ada digaji serupa sekali.

“Ini harus jadi poin oleh Kemenkes ataupun Kemendikbud juga rumah sakit vertikalnya. Utamanya untuk memberikan pendapatan pada PPDS,” tandasnya.

Dokter Tommy menekankan, PPDS harus digaji dikarenakan mereka bekerja, tidak pelajar kedokteran yang mana sedang koas.

“PPDS harus digaji, sebab tidak ada manusiawi sekali kalau tidaklah digaji. Mereka bkerja, bukanlah tidak ada bekerja. Mereka bukanlah siswa kedokteran koas, merekan bekerja, jadi asisten operasi, memeriksa pasien, mengatur pelayanan. Dengan begitu, ketika lulus paripurna atau mampu memeriksa pasien dengan baik,” ungkapnya.

Namun, dr Tommy menyebut, pemberian pendapatan untuk partisipan PPDS tak sanggup diberikan dari keuangan rumah sakit vertikal, diambil dari dokter penanggung jawab pasien atau konsulen.

“Simulasi keuangan menyatakan kalau PPDS hanya saja digaji dari rumah sakit vertikal atau rumah sakit pendidikan, kolpas rumah sakit pendidikannya di beberapa bulan, sehingga perlu dicarikan skema yang dimaksud baik agar PPDS ini dapat diberikan gaji,” tandasnya.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here